Minggu, 21 Oktober 2012
Cerpen Kereta Tidur - Avianti Armand
Melaju dari Teologi, Menuju Ambiguitas Manusia (Avianti Armand catatan: I)
Kekinian, ketika dunia telah maju dengan pesatnya dalam sisi teknologi, kehidupan realitas masyarakat, terutama di perkotaan, kian menjadi abstrak dan kehilangan bentuknya. Seolah, eksistensi manusia terseret pada dunia maya yang sulit dipahami. Akar-akar budaya juga teologis, mulai tak menjadi pijakan hidup. Inilah salah satu persoalan peradaban yang sedang mengancam masyarakat Indonesia. Seringkali, kita sebagai manusia, yang dibekali akal untuk bertindak menusiawi, merasa limbung dalam menafsirkan hasrat atas respon kontekstual realitas hari ini. Alam bawah sadar kerap lebih dominan dari alam yang perih dan menyakitkan. Maka seperti yang diungkapkan seorang psychoanalisis modern, J.Lacan, bahwa manusia adalah makhluk ambiguitas yang tak tak mudah dipahami dirinya sendiri. Karena apa yang dilakukannya seringkali bermakna ganda. Disinyalir, atas pemahaman teologi tauhid yang mengimani kisah Adam-Hawa sebagai manusia pertama, bahwa manusia pertama pun tak mampu menghindari ke-ambiguitas-an-nya, hingga akirnya terusir dari surga. Dari realitas inilah, Avianti Armand, mencoba mendeskripsikan itu semua melalui cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam ''Kereta Tidur'' yang dirancang dari landasan teologi untuk diberangkatkan pada realita ambiguitas manusia. Sebagai seorang arsitek, kehadirannya di dunia sastra pada tahun 2009, dengan diterbitkannya kumpulan cerpen ''Negeri Para Peri'', telah menambah daftar menu selera pembaca sastra Indonesia dan mampu merenggut perhatian para sastrawan, akademisi sastra dan penikmat sastra. Satu cerita dari buku tersebut (Negeri Para Peri) ''Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian'', memenangkan penghargaan Cerpen Terbaik KOMPAS. Setelahnya adalah kumpulan puisi ''Perempuan yang Dihapus Namanya'' tahun 2010, juga buku Kritik Arsitektur Indonesia. Kini, kumpulan cerpennya yang kedua ''Kereta Tidur'' tahun terbitan 2011, mendapat sambutan hangat dengan memposisikannya sebagi buku terlaris di toko buku Gramedia.
Persoalan realitas yang dibenturkan pada keyakinan teologis, yakni tentang pengetahuan ketuhanannya, seperti hendak disampaikan pada pembaca, bahwa kedua persoalan itu juga mengalami benturan dahsyat terhadap hasrat dalam diri manusia. Bahkan sebelum dunia benar-benar ada, hal ini disampaikan dalam Perempuan Pertama, ...''ketika perempuan pertama itu memberanikan diri menyelami laut pengetahuan, meski Ia tahu itu adalah dosa. Sesekali kamu tidak akan mati, tapi kamu akan tahu bahwa kamu akan mati''
Ke-ambiguitas-an lainnya pun hadir dari hampir seluruh tokoh dalam cerpen-cerpennya. Misalnya dalam cerpen Dongeng dari Gibraltar, menceritakan tentang sepasang suami istri yang hidup sederhana, hampa karena tidak memiliki anak. Mereka tak bahagia, hampir putus asa. Suatu hari mereka mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan mimpi mereka, dengan media sebuah peti. Namun mereka harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi mereka berdua, dan ternyata mereka mengorbankan eksistensi mereka sendiri demi keberadaan seorang bayi.
Ambiguitas manusia atas eksistensi terdapat juga dalam cerita Tiket ke Tangier, dikisahkan tentang sepasang manusia yang jatuh cinta di Tangier pada tahun 1973. Mereka bercinta pada suatu hari, lalu berpisah untuk bertemu kembali empat bulan kemudian.Namun pada bulan ketiga ''Dia'' (tokoh perempuan) hamil dan membuatnya tak bisa tidur selama empat hari. Hari kelima membeli tiket ke Tangier untuk bertemu kekasihnya, dan ambiguitas eksistensinya hadir pada hari keenam setelah menemui dokter... ''Dia tak ingin membutmu takut, tapi manusia adalah makluk yang rapuh, Dia tak pernah melihat hari ketujuh. Dengan kata lain, perempuan itu bunuh diri.
Dari sekian kutipan-kutipan di atas, masih banyak sisi ambiguitas dalam cerpen-cerpen Avianti Armand yang tak mungkin seluruhnya dituliskan di blog ini, atau mungkin masih banyak lagi yang masih tersembunyi dalam simbol-simbol yang bercampur-baur dalam genangan metafora serta aporisma dalam narasinya. Keasyikan dalam bermain simbol dan kode-kode dalam beberapa cerpennya seolah tak terbendung dan terkesan tidak komunikatif, sehingga terkesan abstrak dan pembaca sekilas bisa saja gagal dalam menafsirkan, tapi bukankah tugas penulis cuma menulis dan biarlah pembaca yang mengartikan dari segala aspek kritisismenya (terlepas dari baik atau tidaknya karya sastra, tersampaikan atau tidaknya pesan dalam sebuah karya sastra).
Dan Avianti seolah mendudukkan kembali persoalan-persoalan narasi kecil pada sisi teologi, dengan menarasikan penyimpangan perilaku manusia terhadap pem-baku-an epistimologi dalam keseharian masyarakat.
Semoga kita semakin lebih bijak dalam menyikapi keambiguitasan (kita), manusia dalam bermasyarakat di negeri ini yang tak kunjung pulih dari resesi moral, ekonomi dan politik.
Sebijak menafsirkan cerpen-cerpen Avianti Armand yang penuh rasa perih yang menyakitkan.
Imajinasi yang Hidup dari Sebuah Cerita (Avianti Armand catatan: II)
Membaca karya Avianti Armand sungguh menghadirkan pengalaman yang berbeda dalam memaknai sepuluh cerpen yang disajikan Kereta Tidur, Kumpulan cerpen yang (bagi saya tak pernah bosan membacanya walau berulang-ulang) mengandung kekayaan terpendam dalam setiap rangkaian kata. Sederhana, lugas dan banyak mengandung unsur kejutan, mengingatkan pada kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, dimana imajinasi menjadi bahan utama cerita sehingga tak pernah kehilangan kejutan yang menakar pengalaman pembaca.
Agaknya, imajinasi pula yang membuat Kereta Tidur menjadi lebih hidup. Cerita-cerita yang di dalamnya dituliskan dengan kekuatan fiksi imajinatif sehingga mengundag pemaknaan baru atas pemaknaan baru. Sekalipun cerita-cerita itu adalah kenyataan dan realitas yang biasa ditemui sehari-hari.
Hal-hal yang mudah dijumpai seperti konflik cinta, masalah keluarga, pencarian diri melalui pertanyaan atas eksistensi manusia tersaji unik, indah dan menguik. Nilai-nilai kehidupan yang sangat biasa hadir dalam kenyataan sehari-hari, bahkan talah menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari yang biasa dialami.
Dari segi penceritaan, kejutan yang tak pernah bisa diduga adalah satu bagian lain yang akan menguji pengalaman pembaca.Unsur-unsur kejutan dalam cerpen ini mencirikan gelombang baru dalam dunia kepenulisan Indonesia. Ketika konteks berpadu dalam realitas kenyataan sehari-hari dan dituliskan kembali dengan proses fiksi yang fiktif dan imajinatif. Tanpa sedikitpun kehilangan muatan pesan dan kesan yang ingin disampaikan prnulis dalam karyanya.
*sumber: dari berbagai artikel yang dibaca dan cerpen Kereta Tidur*
Langganan:
Postingan (Atom)