Jumat, 16 November 2012

Simbur Cahaya

     Sultan Abdurrahman, yang sering disebut sebagai Cinde Balang, memerintah antara tahun 1649-1694. Sultan ini membebaskan Palembang dari kekuasaan Kerajaan Banten. Hal ini dilakukannya dengan bantuan Kumpeni. Ia adalah Sultan yang berjasa besar dalam mengatur organisasi Kesultanan Palembang. Pangeran Sindang Kenayan (1616-1628), yang memerintah sebelum Sultan Abdurrahman, dan permaisuri Ratu Sinuhun juga dianggap tokoh-tokoh yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar organisasi itu. Sebetulnya Ratu Sinuhun, permaisuri yang pandai dan bijak , lebih banyak berperan dengan memberikan perangkat undang-undang untuk penduduk di pedalaman. Sampai sekarang pun perangkat undang-undang itu masih dikenal sebagai hukum adat di daerah Palembang dan sekitarnya.
   Naskah asli undang-undang yang dikeluarkan oleh Ratu Sinuhun dan Sultan Cinde Balang tidak ditemukan lagi. Naskah legendaris lain dari daerah Komering, Simbur Cahaya Karta Ampat Bicara Lima (yang konon diariskan oleh pendatang-pendatang Jawa di daerah ini) juga tidak diketetmukan lagi. Pada tahun 1890, JFRS van den Bossche, Asisten Residen di Tebing Tinggi sia-sia mencoba mencari naskah undang-undang dan hukum adat yang berasal dari Sultan Palembang. Namun, ternyata orang yang tinggal di daerah perbatasan dengan Bengkulu masih menyimpan naskah hukum adat yang tidak lagi dipegang di Bengkulu, tetapi masih berlaku di daerah Minangkabau.
   Hukum adat Palembang juga bersumber pada piagam-piagam berisi perintah dan peraturan Sultan kepada perwakilannya di daerah pedalaman. Piagam-piagam yang terbuat dari logam itu sudah banyak yang ditransliterasi, didokumentasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda ketika van den Bossche mengolah Undang-Undang Simbur Cahaya. Di masa Kesultanan Palembang, daerah pedalaman dinamakan dan terbagi ke dalam wilayah-wilayah sesuai aliran sungai-sungai yang besar. Ini pun masih (sebagai pembagian wilayah kebudayaan) sampai sekarang.
Setiap wilayah itu dipimpin oleh seorang kepala yang diangkat oleh Sultan dari kalangan priyayi atau bangsawan. Kepala wilayah seperti itu, yang tinggal di ibukota, disebut raban; sedang yang tinggal di pedalaman disebut jenang. Setelah pemerintah Kesultanan Palembang digantikan Belanda, kedudukan dan title jenang dihapuskan. Daerah pedalaman Palembang dibagi ke dalam wilayah yang disebut divisi. Setiap divisi dipimpin oleh seorang pegawai pribumi yang berkedudukan sebagai Kepala Divisi. Orang-orang ini biasanya bertempat tinggal di Palembang. Kepala-kepala Divisi itu hanya memungut pajak dan penghasilan lainnya untuk kepentingan Sultan. Pemerintah dan kekuasaan sebetulnya dijalankan dan dipegang oleh kepala-kepala  marga dan kepala-kepala dusun yang dipilih sendiri oleh warga marga atau dusun yang bersangkutan dengan pengakuan dan dukungan dari Sang Sultan.
     Di dareah pedalaman, hukum adat tertentu tidak hanya dimiliki oleh setiap marga atau dusun saja, tetapi juga dimiliki oleh wilayah tempat marga atau dusun itu berada. Hal ini menyebabkan keanekaragaman kebiasaan dan (hukum) adat di daerah pedalaman Palembang. Walaupun ada persamaan bentuk-bentuk kebiasaan dan (hukum) adat, setiap daerah mempunyai perbedaan yang khas dalam soal hukum keluarga/kekerabatan, hukum waris dan hukum pidana. Penduduk yang sudah memeluk agama Islam tentunya berpegang pada hukum Islam, namun adat kebiasaan lama dan aturan-aturan yang termakhtub dalam piagam-piagam tua dianggap sebagai pengecualian khusus (wilayah terkadang menyimpang dari norma dan aturan hukum Islam). Hal ini berlaku juga untuk Undang-Undang Simbur Cahaya yang sangat dipegang teguh oleh penduduk.
     Segala (hukum) adat dan kebiasaan di daerah pedalaman itu sebetulnya dijalankan bila hal itu sesuai dengan kepentingan Sultan (atau bila Sultan tidak terpengaruh atau dirugikan bila adat dan kebiasaan itu tidak dilakukan). Dengan kata lain, bila suatu adat atau kebiasaan tidak didukung oleh Sultan, adat dan kebiasaan itu tidak diberlakukan (oleh penduduk). Selain itu, perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan Palembang, agama Islam sudah dianut dan berakar di antara sebagian penduduk. Semakin besar pengaruh dan ketaatan penduduk pada agama Islam, semakin kecil ketaatan mereka pada adat dan kebiasaan setempat. Karena itu, di  ibukota Palembang dan daerah Ogan (yang teguh berpegang pada ajaran Islam), hukum Islam merupakan sumber hukum yang utama. Ini berbeda dengan penduduk di daerah Komering yang sangat kuat berpegang pada adat dan kebiasaan tradisionalnya.
   Setelah kekuasaan Kesultanan Palembang dihapuskan dan digantikan oleh Belanda, mereka berusaha mengumpulkan (Hukum) adat kebiaaan yang berlaku di Ibu kota dan daerah pedalamannya. pada tahun 1952, JFRS Van Den Bossche mulai membuat kodifikasi Adat di pedalaman Palembang. Dua tahun kemudian, ia menyerahkan naskah kodifikasi dalam bahasa Melayu yang langsung disetujui oleh Pemerintah Belanda dan pegawai-pegawai pribumi yang mengepalai setiap wilayah untuk digunakan sebagai acuan Hukum (adat) dalam menjalankan pemerintahannya.
    Kodifikasi (hukum) adat dan kebiasaan yang dikenal sebagai Undang-Undang Simbur Cahaya, dibagi oleh van den Bossche ke dalam enam bab: adat bujang-gadis dan kawin, aturan marga, aturan dusun dan berladang, aturan kaum, adat perhukuman dan aturan pajak.
    Ketika mengolah kodifikasi itu, van den Bossche menyadari bahwa tidak mungkin ia mengumpulkan dan mencatat semua (hukum) adat dan kebiasaan yang terdapat di semua daerah dan pedalaman Palembang. Ia juga berpendapat bahwa pranata-pranata yang bertentangan dengan konsep kemanusiaan dalam kebudayaan Belanda (seperti pranata pandeling) atau pranata-pranata yang dianggap merugikan masyarakat umum (seperti djoedjoer dan adat ambil anak) sebaiknya dilarang.
     Menurut kepala-kepala adat yang masih dapat diwawancarai pada tahun 1890, kodifikasi yang diolah oleh van den Bossche dibuat dengan bantuan dan kerjasama dengan semua kepala distrik dan kepala-kepala dusun. Di Baturaja, Lahat, dan Tebing Tinggi diselenggarakan rapat besar yang dihadiri oleh kepala-kepala adat dan warga masyarakat. Di dalam rapat-rapat itu, kodifikasi Undang-Undang Simbur Cahaya olahan van den Bossche dibacakan untuk mendapatkan masukan dan persetujuan orang-orang yang hadir.
     Transliterasi dan penerjemahan piagam-piagam purba dan naskah hukum adat Jawa--Kutara Manawa--(yang dilakukan setelah van den Bossche menerbitkan kodifikasi itu) menunjukkan bahwa lelaki Belanda itu memang bekerja dengan sangat teliti. Aturan-aturan adat dan kebiasaan yang dicatatnnya tidak menyimpang  dari apa yang terdapat di dalam piagam dan naskah-naskah di atas. Walaupun Undang-Undang Simbur Cahaya digunakan  sebagi pedoman dan acuan untuk menjalankan pemerintahan dan mengatur kehidupan sosial penduduk di pedalaman Palembang, hal itu tidak berarti bahwa adat kebiasaan di berbagai wilayah menjadi hilang sama sekali.
     Aturan-aturan adat dan kebiasaan yang berlaku dan dipegang oleh penduduk di daerah Lematang Ulu, Lematang Ilir, dan daerah Pasemah dikumpulkan, dicatat dan ditertibkan oleh GJ Gersen, Asisten-Residen di daerah-daerah itu, pada tahun 1873. Kodifikasi yang diolah oleh Gersen ditulis dalam bahasa Belanda (tanpa disertai versi Bahasa Melayu). Tijdschrift voor Nederlands-Indie, jilid I, tahun 1876, deel I membuat teks Undang-Undang Simbur Cahaya yang sangat lengkap.
     Kodifikasi Undang-Undang Ssimbur Cahaya yang diolah oleh van den Bossche dilakukan menggunakan naskah-naskah Simbur Cahaya  yang ditulis tangan dengan huruf latin. Salah satu naskah bertulis tangan itu terdapat dan disimpan di kantor Residensi Palembang; satu naskah tertulis tangan disimpan di perpustakaan Indiesche Instelling (cikal-bakal perpustakaan KITLV di Leiden; dikemudian hari, van den Bossche menerima pula tiga buah naskah Simbur Cahaya yang bertuls tangan dari Bataviaasch en Genootschap van Kunsten en Wetenschap (Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan di Batavia).
     Kini, Simbur Cahaya sudah diolah dan ditertibkan lagi dalam Bahasa Indonesia. Naskah ini masih digunakan sebagai acuan hukum adat dan sumber yang memberikan banyak mengenai adat, kebisaan dan aturan-aturan yang berlaku di zaman dahulu. Kodifikasi yang diolah oleh van den Bossche sudah pasti tidak sama dengan naskah asli yang dibuat oleh Ratu Sinuhun. Di dalam naskah van den Bossche, tata cara perkawinan, khususnya berkaitan dengan adat djoerdjoer dan adat ambil anak sudah dihapuskan. Besarnya maskawin, belanja dapur atau belanja kawin sudah diatur dan dibatasi dalam naskah versi van den Bossche.
     Biasanya, perubahan unsur budaya tak kentara (seperti adat-istiadat dalam sistem perkawinan) sukar sekali dilacak karena perubahan itu terjadi secara berangsur-angsur. Namun, proses penghapusan adat djoerdjoer dan adat ambil anak di pedalaman Palembang merupakan pengecualian karena hampir seluruh proses terjadinya tercatat dan terdokumentasi (walau dalam bahasa Belanda). Rentetan artikel mengenai matagawe, alingan, adat djoerdjoer, adat ambil anak serta kodifikasi Undang-Undang Simbur Cahaya yang diolah oleh van den Bossche menunjukkan kepada kita bahwa teori para pakar memang benar. Bila satu unsur budaya berubah atau hilang, bukan hanya unsur itu saja yang berubah dan menghilang. Unsur-unsur lain dalam budaya itu akan berubah pula karenanya. Unsur mana yang ikut berubah? Unsur mana yang tetap bertahan? Masih bertahankah sampai sekarang? Wallahu'alam...

*sumber tulisan BERITA PAGI, pernah juga ditulis oleh Frieda Amran*