Jumat, 16 November 2012

Simbur Cahaya

     Sultan Abdurrahman, yang sering disebut sebagai Cinde Balang, memerintah antara tahun 1649-1694. Sultan ini membebaskan Palembang dari kekuasaan Kerajaan Banten. Hal ini dilakukannya dengan bantuan Kumpeni. Ia adalah Sultan yang berjasa besar dalam mengatur organisasi Kesultanan Palembang. Pangeran Sindang Kenayan (1616-1628), yang memerintah sebelum Sultan Abdurrahman, dan permaisuri Ratu Sinuhun juga dianggap tokoh-tokoh yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar organisasi itu. Sebetulnya Ratu Sinuhun, permaisuri yang pandai dan bijak , lebih banyak berperan dengan memberikan perangkat undang-undang untuk penduduk di pedalaman. Sampai sekarang pun perangkat undang-undang itu masih dikenal sebagai hukum adat di daerah Palembang dan sekitarnya.
   Naskah asli undang-undang yang dikeluarkan oleh Ratu Sinuhun dan Sultan Cinde Balang tidak ditemukan lagi. Naskah legendaris lain dari daerah Komering, Simbur Cahaya Karta Ampat Bicara Lima (yang konon diariskan oleh pendatang-pendatang Jawa di daerah ini) juga tidak diketetmukan lagi. Pada tahun 1890, JFRS van den Bossche, Asisten Residen di Tebing Tinggi sia-sia mencoba mencari naskah undang-undang dan hukum adat yang berasal dari Sultan Palembang. Namun, ternyata orang yang tinggal di daerah perbatasan dengan Bengkulu masih menyimpan naskah hukum adat yang tidak lagi dipegang di Bengkulu, tetapi masih berlaku di daerah Minangkabau.
   Hukum adat Palembang juga bersumber pada piagam-piagam berisi perintah dan peraturan Sultan kepada perwakilannya di daerah pedalaman. Piagam-piagam yang terbuat dari logam itu sudah banyak yang ditransliterasi, didokumentasi dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda ketika van den Bossche mengolah Undang-Undang Simbur Cahaya. Di masa Kesultanan Palembang, daerah pedalaman dinamakan dan terbagi ke dalam wilayah-wilayah sesuai aliran sungai-sungai yang besar. Ini pun masih (sebagai pembagian wilayah kebudayaan) sampai sekarang.
Setiap wilayah itu dipimpin oleh seorang kepala yang diangkat oleh Sultan dari kalangan priyayi atau bangsawan. Kepala wilayah seperti itu, yang tinggal di ibukota, disebut raban; sedang yang tinggal di pedalaman disebut jenang. Setelah pemerintah Kesultanan Palembang digantikan Belanda, kedudukan dan title jenang dihapuskan. Daerah pedalaman Palembang dibagi ke dalam wilayah yang disebut divisi. Setiap divisi dipimpin oleh seorang pegawai pribumi yang berkedudukan sebagai Kepala Divisi. Orang-orang ini biasanya bertempat tinggal di Palembang. Kepala-kepala Divisi itu hanya memungut pajak dan penghasilan lainnya untuk kepentingan Sultan. Pemerintah dan kekuasaan sebetulnya dijalankan dan dipegang oleh kepala-kepala  marga dan kepala-kepala dusun yang dipilih sendiri oleh warga marga atau dusun yang bersangkutan dengan pengakuan dan dukungan dari Sang Sultan.
     Di dareah pedalaman, hukum adat tertentu tidak hanya dimiliki oleh setiap marga atau dusun saja, tetapi juga dimiliki oleh wilayah tempat marga atau dusun itu berada. Hal ini menyebabkan keanekaragaman kebiasaan dan (hukum) adat di daerah pedalaman Palembang. Walaupun ada persamaan bentuk-bentuk kebiasaan dan (hukum) adat, setiap daerah mempunyai perbedaan yang khas dalam soal hukum keluarga/kekerabatan, hukum waris dan hukum pidana. Penduduk yang sudah memeluk agama Islam tentunya berpegang pada hukum Islam, namun adat kebiasaan lama dan aturan-aturan yang termakhtub dalam piagam-piagam tua dianggap sebagai pengecualian khusus (wilayah terkadang menyimpang dari norma dan aturan hukum Islam). Hal ini berlaku juga untuk Undang-Undang Simbur Cahaya yang sangat dipegang teguh oleh penduduk.
     Segala (hukum) adat dan kebiasaan di daerah pedalaman itu sebetulnya dijalankan bila hal itu sesuai dengan kepentingan Sultan (atau bila Sultan tidak terpengaruh atau dirugikan bila adat dan kebiasaan itu tidak dilakukan). Dengan kata lain, bila suatu adat atau kebiasaan tidak didukung oleh Sultan, adat dan kebiasaan itu tidak diberlakukan (oleh penduduk). Selain itu, perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan Palembang, agama Islam sudah dianut dan berakar di antara sebagian penduduk. Semakin besar pengaruh dan ketaatan penduduk pada agama Islam, semakin kecil ketaatan mereka pada adat dan kebiasaan setempat. Karena itu, di  ibukota Palembang dan daerah Ogan (yang teguh berpegang pada ajaran Islam), hukum Islam merupakan sumber hukum yang utama. Ini berbeda dengan penduduk di daerah Komering yang sangat kuat berpegang pada adat dan kebiasaan tradisionalnya.
   Setelah kekuasaan Kesultanan Palembang dihapuskan dan digantikan oleh Belanda, mereka berusaha mengumpulkan (Hukum) adat kebiaaan yang berlaku di Ibu kota dan daerah pedalamannya. pada tahun 1952, JFRS Van Den Bossche mulai membuat kodifikasi Adat di pedalaman Palembang. Dua tahun kemudian, ia menyerahkan naskah kodifikasi dalam bahasa Melayu yang langsung disetujui oleh Pemerintah Belanda dan pegawai-pegawai pribumi yang mengepalai setiap wilayah untuk digunakan sebagai acuan Hukum (adat) dalam menjalankan pemerintahannya.
    Kodifikasi (hukum) adat dan kebiasaan yang dikenal sebagai Undang-Undang Simbur Cahaya, dibagi oleh van den Bossche ke dalam enam bab: adat bujang-gadis dan kawin, aturan marga, aturan dusun dan berladang, aturan kaum, adat perhukuman dan aturan pajak.
    Ketika mengolah kodifikasi itu, van den Bossche menyadari bahwa tidak mungkin ia mengumpulkan dan mencatat semua (hukum) adat dan kebiasaan yang terdapat di semua daerah dan pedalaman Palembang. Ia juga berpendapat bahwa pranata-pranata yang bertentangan dengan konsep kemanusiaan dalam kebudayaan Belanda (seperti pranata pandeling) atau pranata-pranata yang dianggap merugikan masyarakat umum (seperti djoedjoer dan adat ambil anak) sebaiknya dilarang.
     Menurut kepala-kepala adat yang masih dapat diwawancarai pada tahun 1890, kodifikasi yang diolah oleh van den Bossche dibuat dengan bantuan dan kerjasama dengan semua kepala distrik dan kepala-kepala dusun. Di Baturaja, Lahat, dan Tebing Tinggi diselenggarakan rapat besar yang dihadiri oleh kepala-kepala adat dan warga masyarakat. Di dalam rapat-rapat itu, kodifikasi Undang-Undang Simbur Cahaya olahan van den Bossche dibacakan untuk mendapatkan masukan dan persetujuan orang-orang yang hadir.
     Transliterasi dan penerjemahan piagam-piagam purba dan naskah hukum adat Jawa--Kutara Manawa--(yang dilakukan setelah van den Bossche menerbitkan kodifikasi itu) menunjukkan bahwa lelaki Belanda itu memang bekerja dengan sangat teliti. Aturan-aturan adat dan kebiasaan yang dicatatnnya tidak menyimpang  dari apa yang terdapat di dalam piagam dan naskah-naskah di atas. Walaupun Undang-Undang Simbur Cahaya digunakan  sebagi pedoman dan acuan untuk menjalankan pemerintahan dan mengatur kehidupan sosial penduduk di pedalaman Palembang, hal itu tidak berarti bahwa adat kebiasaan di berbagai wilayah menjadi hilang sama sekali.
     Aturan-aturan adat dan kebiasaan yang berlaku dan dipegang oleh penduduk di daerah Lematang Ulu, Lematang Ilir, dan daerah Pasemah dikumpulkan, dicatat dan ditertibkan oleh GJ Gersen, Asisten-Residen di daerah-daerah itu, pada tahun 1873. Kodifikasi yang diolah oleh Gersen ditulis dalam bahasa Belanda (tanpa disertai versi Bahasa Melayu). Tijdschrift voor Nederlands-Indie, jilid I, tahun 1876, deel I membuat teks Undang-Undang Simbur Cahaya yang sangat lengkap.
     Kodifikasi Undang-Undang Ssimbur Cahaya yang diolah oleh van den Bossche dilakukan menggunakan naskah-naskah Simbur Cahaya  yang ditulis tangan dengan huruf latin. Salah satu naskah bertulis tangan itu terdapat dan disimpan di kantor Residensi Palembang; satu naskah tertulis tangan disimpan di perpustakaan Indiesche Instelling (cikal-bakal perpustakaan KITLV di Leiden; dikemudian hari, van den Bossche menerima pula tiga buah naskah Simbur Cahaya yang bertuls tangan dari Bataviaasch en Genootschap van Kunsten en Wetenschap (Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan di Batavia).
     Kini, Simbur Cahaya sudah diolah dan ditertibkan lagi dalam Bahasa Indonesia. Naskah ini masih digunakan sebagai acuan hukum adat dan sumber yang memberikan banyak mengenai adat, kebisaan dan aturan-aturan yang berlaku di zaman dahulu. Kodifikasi yang diolah oleh van den Bossche sudah pasti tidak sama dengan naskah asli yang dibuat oleh Ratu Sinuhun. Di dalam naskah van den Bossche, tata cara perkawinan, khususnya berkaitan dengan adat djoerdjoer dan adat ambil anak sudah dihapuskan. Besarnya maskawin, belanja dapur atau belanja kawin sudah diatur dan dibatasi dalam naskah versi van den Bossche.
     Biasanya, perubahan unsur budaya tak kentara (seperti adat-istiadat dalam sistem perkawinan) sukar sekali dilacak karena perubahan itu terjadi secara berangsur-angsur. Namun, proses penghapusan adat djoerdjoer dan adat ambil anak di pedalaman Palembang merupakan pengecualian karena hampir seluruh proses terjadinya tercatat dan terdokumentasi (walau dalam bahasa Belanda). Rentetan artikel mengenai matagawe, alingan, adat djoerdjoer, adat ambil anak serta kodifikasi Undang-Undang Simbur Cahaya yang diolah oleh van den Bossche menunjukkan kepada kita bahwa teori para pakar memang benar. Bila satu unsur budaya berubah atau hilang, bukan hanya unsur itu saja yang berubah dan menghilang. Unsur-unsur lain dalam budaya itu akan berubah pula karenanya. Unsur mana yang ikut berubah? Unsur mana yang tetap bertahan? Masih bertahankah sampai sekarang? Wallahu'alam...

*sumber tulisan BERITA PAGI, pernah juga ditulis oleh Frieda Amran*

Minggu, 21 Oktober 2012

Cerpen Kereta Tidur - Avianti Armand



Melaju dari Teologi, Menuju Ambiguitas Manusia (Avianti Armand catatan: I)

Kekinian, ketika dunia telah maju dengan pesatnya dalam sisi teknologi, kehidupan realitas masyarakat, terutama di perkotaan, kian menjadi abstrak dan kehilangan bentuknya. Seolah, eksistensi manusia terseret pada dunia maya yang sulit dipahami. Akar-akar budaya juga teologis, mulai tak menjadi pijakan hidup. Inilah salah satu persoalan peradaban yang sedang mengancam masyarakat Indonesia. Seringkali, kita sebagai manusia, yang dibekali akal untuk bertindak menusiawi, merasa limbung dalam menafsirkan hasrat atas respon kontekstual realitas hari ini. Alam bawah sadar kerap lebih dominan dari alam yang perih dan menyakitkan. Maka seperti yang diungkapkan seorang psychoanalisis modern, J.Lacan, bahwa manusia adalah makhluk ambiguitas yang tak tak mudah dipahami dirinya sendiri. Karena apa yang dilakukannya seringkali bermakna ganda. Disinyalir, atas pemahaman teologi tauhid yang mengimani kisah Adam-Hawa sebagai manusia pertama, bahwa manusia pertama pun tak mampu menghindari ke-ambiguitas-an-nya, hingga akirnya terusir dari surga. Dari realitas inilah, Avianti Armand, mencoba mendeskripsikan itu semua melalui cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam ''Kereta Tidur'' yang dirancang dari landasan teologi untuk diberangkatkan pada realita ambiguitas manusia. Sebagai seorang arsitek, kehadirannya di dunia sastra pada tahun 2009, dengan diterbitkannya kumpulan cerpen ''Negeri Para Peri'', telah menambah daftar menu selera pembaca sastra Indonesia dan mampu merenggut perhatian para sastrawan, akademisi sastra dan penikmat sastra. Satu cerita dari buku tersebut (Negeri Para Peri) ''Pada Suatu Hari Ada Ibu dan Radian'', memenangkan penghargaan Cerpen Terbaik KOMPAS. Setelahnya adalah kumpulan puisi ''Perempuan yang Dihapus Namanya'' tahun 2010, juga buku Kritik Arsitektur Indonesia. Kini, kumpulan cerpennya yang kedua ''Kereta Tidur'' tahun terbitan 2011, mendapat sambutan hangat dengan memposisikannya sebagi buku terlaris di toko buku Gramedia.

Persoalan realitas yang dibenturkan pada keyakinan teologis, yakni tentang pengetahuan ketuhanannya, seperti hendak disampaikan pada pembaca, bahwa kedua persoalan itu juga mengalami benturan dahsyat terhadap hasrat dalam diri manusia. Bahkan sebelum dunia benar-benar ada, hal ini disampaikan dalam Perempuan Pertama,  ...''ketika perempuan pertama itu memberanikan diri menyelami laut pengetahuan, meski Ia tahu itu adalah dosa. Sesekali kamu tidak akan mati, tapi kamu akan tahu bahwa kamu akan mati''
Ke-ambiguitas-an lainnya pun hadir dari hampir seluruh tokoh dalam cerpen-cerpennya. Misalnya dalam cerpen Dongeng dari Gibraltar, menceritakan tentang sepasang suami istri yang hidup sederhana, hampa karena tidak memiliki anak. Mereka tak bahagia, hampir putus asa. Suatu hari mereka mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan mimpi mereka, dengan media sebuah peti. Namun mereka harus mengorbankan sesuatu yang paling berharga bagi mereka berdua, dan ternyata mereka mengorbankan eksistensi mereka sendiri demi keberadaan seorang bayi.
Ambiguitas manusia atas eksistensi terdapat juga dalam cerita Tiket ke Tangier, dikisahkan tentang sepasang manusia yang jatuh cinta di Tangier pada tahun 1973. Mereka bercinta pada suatu hari, lalu berpisah untuk bertemu kembali empat bulan kemudian.Namun pada bulan ketiga ''Dia'' (tokoh perempuan) hamil dan membuatnya tak bisa tidur selama empat hari. Hari kelima membeli tiket ke Tangier untuk bertemu kekasihnya, dan ambiguitas eksistensinya hadir pada hari keenam setelah menemui dokter... ''Dia tak ingin membutmu takut, tapi manusia adalah makluk yang rapuh, Dia tak pernah melihat hari ketujuh. Dengan kata lain, perempuan itu bunuh diri.

Dari sekian kutipan-kutipan di atas, masih banyak sisi ambiguitas dalam cerpen-cerpen Avianti Armand yang tak mungkin seluruhnya dituliskan di blog ini, atau mungkin masih banyak lagi yang masih tersembunyi dalam simbol-simbol yang bercampur-baur dalam genangan metafora serta aporisma dalam narasinya. Keasyikan dalam bermain simbol dan kode-kode dalam beberapa cerpennya seolah tak terbendung dan terkesan tidak komunikatif, sehingga terkesan abstrak dan pembaca sekilas bisa saja gagal dalam menafsirkan, tapi bukankah tugas penulis cuma menulis dan biarlah pembaca yang mengartikan dari segala aspek kritisismenya (terlepas dari baik atau tidaknya karya sastra, tersampaikan atau tidaknya pesan dalam sebuah karya sastra).
Dan Avianti seolah mendudukkan kembali persoalan-persoalan narasi kecil pada sisi teologi, dengan menarasikan penyimpangan perilaku manusia terhadap pem-baku-an epistimologi dalam keseharian masyarakat.

Semoga kita semakin lebih bijak dalam menyikapi keambiguitasan (kita), manusia dalam bermasyarakat di negeri ini yang tak kunjung pulih dari resesi moral, ekonomi dan politik.
Sebijak menafsirkan cerpen-cerpen Avianti Armand yang penuh rasa perih yang menyakitkan.





Imajinasi yang Hidup dari Sebuah Cerita (Avianti Armand catatan: II)

Membaca karya Avianti Armand sungguh menghadirkan pengalaman yang berbeda dalam memaknai sepuluh cerpen yang disajikan Kereta Tidur, Kumpulan cerpen yang (bagi saya tak pernah bosan membacanya walau berulang-ulang) mengandung kekayaan terpendam dalam setiap rangkaian kata. Sederhana, lugas dan banyak mengandung unsur kejutan, mengingatkan pada kumpulan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, dimana imajinasi menjadi bahan utama cerita sehingga tak pernah kehilangan kejutan yang menakar pengalaman pembaca.

Agaknya, imajinasi pula yang membuat Kereta Tidur menjadi lebih hidup. Cerita-cerita yang di dalamnya dituliskan dengan kekuatan fiksi imajinatif sehingga mengundag pemaknaan baru atas pemaknaan baru. Sekalipun cerita-cerita itu adalah kenyataan dan realitas yang biasa ditemui sehari-hari.

Hal-hal yang mudah dijumpai seperti konflik cinta, masalah keluarga, pencarian diri melalui pertanyaan atas eksistensi manusia tersaji unik, indah dan menguik. Nilai-nilai kehidupan yang sangat biasa hadir dalam kenyataan sehari-hari, bahkan talah menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari yang biasa dialami.

Dari segi penceritaan, kejutan yang tak pernah bisa diduga adalah satu bagian lain yang akan menguji pengalaman pembaca.Unsur-unsur kejutan dalam cerpen ini mencirikan gelombang baru dalam dunia kepenulisan Indonesia. Ketika konteks berpadu dalam realitas kenyataan sehari-hari dan dituliskan kembali dengan proses fiksi yang fiktif dan imajinatif. Tanpa sedikitpun kehilangan muatan pesan dan kesan yang ingin disampaikan prnulis dalam karyanya.




*sumber: dari berbagai artikel yang dibaca dan cerpen Kereta Tidur*

Selasa, 22 Mei 2012

Puisi-Puisi Saut Situmorang

aku telah menjelajahi kemulusan tubuhMu


aku telah menjelajahi kemulusan tubuhMu:
seperti seekor kupu kupu menjalangi semua mawar di taman di luar kamar

biaralah bulan itu sendiri dalam kedinginan

perempuan yang merangkulku dalam embun pagi hari, janganlah engkau tertidur

tak kan ada mimpi yang seindah permainan cinta kita ini. hunjamkanlah lagi kuku kuku manismu ke rambutku yang basah bau tubuh

aku telah berdamai dengan bayanganKu di kemulusan tubuhmu seperti kupu kupu yang menemukan celah daun di mawar di luar kamar

biarlah bulan itu mengutuki bayangannya sendiri yang pecah bersama embun di pagi hari

perempuanku yang bermata biru sebiru kemulusan ombak laut yang memukul mukul perahu lihatlah malam tak berawan di mataku

cinta dan bintang bintang telah bersatu di dada si pengembara jemu

di ujung kuku kukumulah lahir semua kata kata sajak ku




sajak cinta untuk semua perempunKu
yang lampau, yang kini, yang akan datang



harum alkohol dan mani menjerat kupu kupu jadi tinggal rangka di sudut jendela kamar.

di luar, suara cakar possum menyayat kulit pohon menggores muka tanah yang kering
oleh angin dingin dari selatan

semua kenangan tentang perempuan-

selalu tanpa baju tanpa celana tanpa apa apa telanjang, belum jadi moral, putih kemerahan

dada yang besar yang kecil putih kemerahan
pantat yang besar yang kecil putih kemerahan
kemaluan yang besar yang kecil putih kemerahan
kaki yang panjang pendek putih kemerahan

selalu sepasang mata yang lembut, mata biru yang diambil dari kedalaman laut

selalu sepasang bibir yang lembut, bibir polos yang diambil dari keluasan laut

dan sapaan itu

suara sepoi angin yang tak terduga

pertemuan seorang asing dengan seorang asing

sajak cinta yang terlahir dari harum alkohol dan mani dibaptis oleh harum alkohol dan mani

apa yang lebih suci dari alkohol dan mani?

seekor kupu kupu yang tinggal rangka di sudut jendela kamar mengerti apa yang para nabi para malaikat para tuhan yang tidak mengerti

perempuanku
perempuanku
perempuanku
sajak sajak cinta jauh lebih suci dari pada keangkuhan semua kitab suci

cakar kuku kuku possum menyayat kulit mukaKu beraturan

sebuah tato warna warni sebuah pelangi warna warni membusur di dinding kamar
tempat kalian turun bermain dari dongeng dongeng nenek moyang dan mandi telanjang di kolam kasur
kolam harum alkohol dan mani

sementara Aku cuma tersenyum mabuk dan birahi menulis sajak ini



cinta, dalam retrospektif alkohol akhir tahun


bulan menyinari tubuh telanjangMu di kaca jendela kamar dan Kau jadi kupu kupu harum mawar liar terjerat dalam pelangi mimpi sepiKu

tersenyumlah pada cicak yang tidur dalam kelam rambutMu

aku minum bir bersama purnama aku di trotoar jalan, dia di atas atap rumah
aku tak suka pada mereka yang masuk menemu malam dan ribut menentang bulan.

seorang pelacur menawarkan gerhana bulan
aku merasakan puting susuMu menggeliat menyerah dalam rangkulan bibir birahiku.

rambutKu basah harum tubuh telanjangMu.

telaga mawar merah melati putih tempat ikan ikan mas bercanda dengan bulan perak.

desah rintihMu membakar cicak cicak mabuk di langit kamar.

aku minum sendiri malam ini.

seorang bidadari kerajaan langit mencuri bulan dan menyembunyikannya di balik pekat tirai hujan aku dan arakku menggigil diguyur sepi.

Aku ingin tersesat di labirin garis tubuhMu.
mencari bulan gerhana yang hilang di dataran ranum perut betinaMu...
seperti perahu kertas yang dihanyutkan bocah iseng di kali itu, seperti layang layang yang meliuk di ujung jari bocah di tanah lapang itu,
Aku ingin hanyut mabuk
di musim semi buah dadaMu.

kupu kupu membuat sarang di lengkung alisMu yang basah keringat mawar itu.
musim membawa hujan ke didih danau, menghalau debu mengendap di mata,
kenapa kau usir dia, wahai putri langitKu yang perkasa?

ada kupu kupu tertegun sepi menatap kerlip lampu di alis hitam malam terkenang riang mekar kelopak kembang sebelum badai itu datang, dulu angin mati membuatNya tiba tiba menggigil.



NAMA


Di kota ini, cinta bicara dalam metafora yang berbeda

Perahu dan bintang bintang di laut malam adalah  sepasang kekasih yang dipisah semenanjung kecil penuh nyiur melambai salam perpisahan dan selamat datang

Hidup cuma gelombang ombak pantai, panjang pendek tapi tak pernah meninggalkan karang tempat camar-camar membangun sarang musim hujannya

Di antara tetes air hujan di atap rumah yang terus menerus mengingatkan pada makin larutnya malam dan suara desir kipas angin yang membawa dingin malam ke dalam rumah, kata-kata bergolak ingin berteriak ke kaku garis-garis kamar, Berikan aku metafora untuk menaklukkan kebosanan

Kata-kata seperti kucing jantan sendiri di bawah wuwungan rumah, mencari yang lenyap dalam gelap malam
Sesekali terdengar lirih keluh kereta api di stasiunnya yang jauh

Kalau kau mendengar tetes hujan di atap rumahmu malam ini, kau rasakan  birahi malam di kaca jendela berkabut basah

Suara keluh kereta yang jauh seperti dzikir doa yang sia-sia memberi sepi makna

Malam makin larut, tetes hujan makin hanyut dalam birahi kata yang memanggil metafora dalam sebuah nama, namaMu

Sisa hujan berhenti menetes di atap rumah, kereta api tak lagi berkeluh kesah, tapi malam tak henti berdzikir menyebut namaMu...
Aku mendengar manis suaraMu, tapi tak ku lihat kau
Aku mencium harum tubuhMu, tapi tak ku lihat kau
Aku merasakan hangat nafasMu, tapi tak ku lihat kau


spring telah tiba

spring telah tiba dan jarum kompas jadi liar dalam gelasnya
waktu perahu kertas yang Kulayarkan terbalik menabrak pelangi tiga warna
wajahKu mengeras di cermin kamar mandi karena jejak kakimu
wahai camar berbulu putih disembunyikan ombak laut dari sepasang mataKu yang letih

spring telah tiba dan pohon pohon di puncak bukit mengibas ngibaskan debu salju dari alis mereka sementara dua ekor anak domba melompat terperanjat melihat sekuntum mawar mekar di sela sela pagar
perahu kertasKu yang malang . . .
tapi lihatlah!
tiga orang bidadari turun dari pelangi mereka angkat perahu kertasKu
yang hampir tenggelam itu dan salju yang mulai mencair membawa mereka berlayar ke pinggir danau yang tenang


buat Bode Riswandi
(sebuah sajak temuan)


Datang ke kotamu, di pagi buta atau malam kelam sama saja
Kota kecil yang jauh itu, dimana kutinggalkan guguran helai rambut ikalku dan baris baris sajak yang berakhir dengan tiga tanda titik hitam . . .
Gerimis selalu turun di kota kecil itu,
selalu
Seperti haiku selalu tak pernah punya judul,
selalu


Haiku

Lumpur menjadi kampung
Menjadi wajah anak anak--
Porong




Perahu Mabuk
(antara Aku dan Kau terbentang
samudera kata kata, o imajinasi!
dimanakah kudapatkan perahu mimpi
untuk melayarinya)

perahu kayu berlayar di bibirnya dengan kain layar penuh berkibar...

ahooi pelaut yang mabuk birahi buih ombak di laut malam!
kapan pulang ke muara yang penuh harum rindu sungai bening tempat kekasih mencuci rambut remajanya!

ahooi suara ombak yang menampar perahu muara sungai muncul dari balik kabut seperti perawan malu malu di malam pertama menyambutmu!

ahooi!

di sebuah batu karang dekat garis pantai yang hitam di malam yang kelam terdampar bangkai seekor camar

ahooi pelaut yang lupa pulang tak ada bulan jadi mercusuar jalan pulang malam ini!
tidurlah di kayu perahu sambil kau cumbu bayang kekasih di kibar layar

hanya suara anjing yang melolong di kejauhan pantai menemani sang penyair menghabiskan araknya di karang yang sekarang penuh cahya kunang kunang kehilangan perahu dan cinta yang ditelan metafora muara kata katanya ...ahooi!


Metafora Cinta

kalau kau ada di segala tempat dimana aku ada kenapa masih bertanya akan meleburkan diri atau menjauh pergi

malam di sini dingin, cuma suara angin mempermainkan daunan dan atap rumah mengingatkanku betapa indah cinta yang mampu membuat melupakan fana kata kata dan metaforanya

aku ingin terbakar hangus sampai mampus oleh birahi yang tak putus putus, di manapun cinta terendus!

aku tak mau jadi mercusuar pelayaranmu, mercusuar yang sendiri dalam dingin malam malam kesepiannya, yang melihat perahumu menghilang di balik kabut pulau pulau karang di kaki langit yang jauh tak terjangkau

aku mau jadi kibar layar perahu yang membawamu ke teluk yang paling putih pasirnya paling lembut lambaian nyiurnya, tanpa mercusuar penanda mengintainya bencana!


akupun menolak jadi bintang mata angin malam malam pelayaranku,
bintang yang begitu kecil begitu jauh daribelai lentik jari jari angin malammu.
kibarkanlah aku sepenuh tiang perahu di jantung perahu layarmu!

kenapa takut dengan bayang malam di buih ombak, pada bayang badai di wajah bulan?

dengarlah kibar layar di seluruh perahu, di angin samudera, yang menjanjikan teluk yang paling putih pasirnya paling lembut lambai nyiurnya, dengarlah!









*sumber tulisan: jurnal sastra boemipoetra dan berbagai blog dan twitter resmi Saut Situmorang*