aku telah menjelajahi kemulusan tubuhMu:
seperti seekor kupu kupu menjalangi semua mawar di taman di luar kamar
biaralah bulan itu sendiri dalam kedinginan
perempuan yang merangkulku dalam embun pagi hari, janganlah engkau tertidur
tak kan ada mimpi yang seindah permainan cinta kita ini. hunjamkanlah lagi kuku kuku manismu ke rambutku yang basah bau tubuh
aku telah berdamai dengan bayanganKu di kemulusan tubuhmu seperti kupu kupu yang menemukan celah daun di mawar di luar kamar
biarlah bulan itu mengutuki bayangannya sendiri yang pecah bersama embun di pagi hari
perempuanku yang bermata biru sebiru kemulusan ombak laut yang memukul mukul perahu lihatlah malam tak berawan di mataku
cinta dan bintang bintang telah bersatu di dada si pengembara jemu
di ujung kuku kukumulah lahir semua kata kata sajak ku
sajak cinta untuk semua perempunKu
yang lampau, yang kini, yang akan datang
harum alkohol dan mani menjerat kupu kupu jadi tinggal rangka di sudut jendela kamar.
di luar, suara cakar possum menyayat kulit pohon menggores muka tanah yang kering
oleh angin dingin dari selatan
semua kenangan tentang perempuan-
selalu tanpa baju tanpa celana tanpa apa apa telanjang, belum jadi moral, putih kemerahan
dada yang besar yang kecil putih kemerahan
pantat yang besar yang kecil putih kemerahan
kemaluan yang besar yang kecil putih kemerahan
kaki yang panjang pendek putih kemerahan
selalu sepasang mata yang lembut, mata biru yang diambil dari kedalaman laut
selalu sepasang bibir yang lembut, bibir polos yang diambil dari keluasan laut
dan sapaan itu
suara sepoi angin yang tak terduga
pertemuan seorang asing dengan seorang asing
sajak cinta yang terlahir dari harum alkohol dan mani dibaptis oleh harum alkohol dan mani
apa yang lebih suci dari alkohol dan mani?
seekor kupu kupu yang tinggal rangka di sudut jendela kamar mengerti apa yang para nabi para malaikat para tuhan yang tidak mengerti
perempuanku
perempuanku
perempuanku
sajak sajak cinta jauh lebih suci dari pada keangkuhan semua kitab suci
cakar kuku kuku possum menyayat kulit mukaKu beraturan
sebuah tato warna warni sebuah pelangi warna warni membusur di dinding kamar
tempat kalian turun bermain dari dongeng dongeng nenek moyang dan mandi telanjang di kolam kasur
kolam harum alkohol dan mani
sementara Aku cuma tersenyum mabuk dan birahi menulis sajak ini
cinta, dalam retrospektif alkohol akhir tahun
bulan menyinari tubuh telanjangMu di kaca jendela kamar dan Kau jadi kupu kupu harum mawar liar terjerat dalam pelangi mimpi sepiKu
tersenyumlah pada cicak yang tidur dalam kelam rambutMu
aku minum bir bersama purnama aku di trotoar jalan, dia di atas atap rumah
aku tak suka pada mereka yang masuk menemu malam dan ribut menentang bulan.
seorang pelacur menawarkan gerhana bulan
aku merasakan puting susuMu menggeliat menyerah dalam rangkulan bibir birahiku.
rambutKu basah harum tubuh telanjangMu.
telaga mawar merah melati putih tempat ikan ikan mas bercanda dengan bulan perak.
desah rintihMu membakar cicak cicak mabuk di langit kamar.
aku minum sendiri malam ini.
seorang bidadari kerajaan langit mencuri bulan dan menyembunyikannya di balik pekat tirai hujan aku dan arakku menggigil diguyur sepi.
Aku ingin tersesat di labirin garis tubuhMu.
mencari bulan gerhana yang hilang di dataran ranum perut betinaMu...
seperti perahu kertas yang dihanyutkan bocah iseng di kali itu, seperti layang layang yang meliuk di ujung jari bocah di tanah lapang itu,
Aku ingin hanyut mabuk
di musim semi buah dadaMu.
kupu kupu membuat sarang di lengkung alisMu yang basah keringat mawar itu.
musim membawa hujan ke didih danau, menghalau debu mengendap di mata,
kenapa kau usir dia, wahai putri langitKu yang perkasa?
ada kupu kupu tertegun sepi menatap kerlip lampu di alis hitam malam terkenang riang mekar kelopak kembang sebelum badai itu datang, dulu angin mati membuatNya tiba tiba menggigil.
NAMA
Di kota ini, cinta bicara dalam metafora yang berbeda
Perahu dan bintang bintang di laut malam adalah sepasang kekasih yang dipisah semenanjung kecil penuh nyiur melambai salam perpisahan dan selamat datang
Hidup cuma gelombang ombak pantai, panjang pendek tapi tak pernah meninggalkan karang tempat camar-camar membangun sarang musim hujannya
Di antara tetes air hujan di atap rumah yang terus menerus mengingatkan pada makin larutnya malam dan suara desir kipas angin yang membawa dingin malam ke dalam rumah, kata-kata bergolak ingin berteriak ke kaku garis-garis kamar, Berikan aku metafora untuk menaklukkan kebosanan
Kata-kata seperti kucing jantan sendiri di bawah wuwungan rumah, mencari yang lenyap dalam gelap malam
Sesekali terdengar lirih keluh kereta api di stasiunnya yang jauh
Kalau kau mendengar tetes hujan di atap rumahmu malam ini, kau rasakan birahi malam di kaca jendela berkabut basah
Suara keluh kereta yang jauh seperti dzikir doa yang sia-sia memberi sepi makna
Malam makin larut, tetes hujan makin hanyut dalam birahi kata yang memanggil metafora dalam sebuah nama, namaMu
Sisa hujan berhenti menetes di atap rumah, kereta api tak lagi berkeluh kesah, tapi malam tak henti berdzikir menyebut namaMu...
Aku mendengar manis suaraMu, tapi tak ku lihat kau
Aku mencium harum tubuhMu, tapi tak ku lihat kau
Aku merasakan hangat nafasMu, tapi tak ku lihat kau
spring telah tiba
spring telah tiba dan jarum kompas jadi liar dalam gelasnya
waktu perahu kertas yang Kulayarkan terbalik menabrak pelangi tiga warna
wajahKu mengeras di cermin kamar mandi karena jejak kakimu
wahai camar berbulu putih disembunyikan ombak laut dari sepasang mataKu yang letih
spring telah tiba dan pohon pohon di puncak bukit mengibas ngibaskan debu salju dari alis mereka sementara dua ekor anak domba melompat terperanjat melihat sekuntum mawar mekar di sela sela pagar
perahu kertasKu yang malang . . .
tapi lihatlah!
tiga orang bidadari turun dari pelangi mereka angkat perahu kertasKu
yang hampir tenggelam itu dan salju yang mulai mencair membawa mereka berlayar ke pinggir danau yang tenang
buat Bode Riswandi
(sebuah sajak temuan)
Datang ke kotamu, di pagi buta atau malam kelam sama saja
Kota kecil yang jauh itu, dimana kutinggalkan guguran helai rambut ikalku dan baris baris sajak yang berakhir dengan tiga tanda titik hitam . . .
Gerimis selalu turun di kota kecil itu,
selalu
selalu
Haiku
Lumpur menjadi kampung
Menjadi wajah anak anak
Porong
Perahu Mabuk
(antara Aku dan Kau terbentang
samudera kata kata, o imajinasi!
dimanakah kudapatkan perahu mimpi
untuk melayarinya)
perahu kayu berlayar di bibirnya dengan kain layar penuh berkibar...
ahooi pelaut yang mabuk birahi buih ombak di laut malam!
kapan pulang ke muara yang penuh harum rindu sungai bening tempat kekasih mencuci rambut remajanya!
ahooi suara ombak yang menampar perahu muara sungai muncul dari balik kabut seperti perawan malu malu di malam pertama menyambutmu!
ahooi!
di sebuah batu karang dekat garis pantai yang hitam di malam yang kelam terdampar bangkai seekor camar
ahooi pelaut yang lupa pulang tak ada bulan jadi mercusuar jalan pulang malam ini!
tidurlah di kayu perahu sambil kau cumbu bayang kekasih di kibar layar
hanya suara anjing yang melolong di kejauhan pantai menemani sang penyair menghabiskan araknya di karang yang sekarang penuh cahya kunang kunang kehilangan perahu dan cinta yang ditelan metafora muara kata katanya ...ahooi!
Metafora Cinta
kalau kau ada di segala tempat dimana aku ada kenapa masih bertanya akan meleburkan diri atau menjauh pergi
malam di sini dingin, cuma suara angin mempermainkan daunan dan atap rumah mengingatkanku betapa indah cinta yang mampu membuat melupakan fana kata kata dan metaforanya
aku ingin terbakar hangus sampai mampus oleh birahi yang tak putus putus, di manapun cinta terendus!
aku tak mau jadi mercusuar pelayaranmu, mercusuar yang sendiri dalam dingin malam malam kesepiannya, yang melihat perahumu menghilang di balik kabut pulau pulau karang di kaki langit yang jauh tak terjangkau
aku mau jadi kibar layar perahu yang membawamu ke teluk yang paling putih pasirnya paling lembut lambaian nyiurnya, tanpa mercusuar penanda mengintainya bencana!
akupun menolak jadi bintang mata angin malam malam pelayaranku,
bintang yang begitu kecil begitu jauh daribelai lentik jari jari angin malammu.
kibarkanlah aku sepenuh tiang perahu di jantung perahu layarmu!
kenapa takut dengan bayang malam di buih ombak, pada bayang badai di wajah bulan?
dengarlah kibar layar di seluruh perahu, di angin samudera, yang menjanjikan teluk yang paling putih pasirnya paling lembut lambai nyiurnya, dengarlah!
*sumber tulisan: jurnal sastra boemipoetra dan berbagai blog dan twitter resmi Saut Situmorang*
Puisi-puisi Saut Situmorang
BalasHapuskerreennn
BalasHapuskerreennn
BalasHapus